PERBEDAAN ANTARA NASEHAT DAN GHIBAH
Syaikh Husein Al-Awaisyah dalam sebuah bukunya
menuliskan sebuah bab yang artinya, "Perkara-perkara
yang
disangka bukan ghibah, tetapi sebenarnya termasuk
ghibah", di antaranya beliau menyebutkan dalam point
yang kedelapan:
"Dan barangkali Allah memberi keutamaan kepada
seseorang dalam hal amar ma'ruf nahi munkar,
di mana
tidak sembarang orang dapat menasehati orang lain
lebih-lebih kalau orang yang dinasehati tersebut sulit
untuk
menerima nasehat, kemudian orang tersebut
menerima nasehatnya dengan jujur dan ikhlas, dan
nampak dari dia keinginan
yang kuat untuk beertaubat,
akan tetapi si penasehat tersebut nampaknya lemah
dalam menghadapi syetan, tiba-tiba ia
menceritakan aib
orang tersebut di hadapan manusia, "Si fulan melakukan
ini dan itu, si fulan berbuat demikian, kemudian
saya
menasehatinya."
Faktor apalagi kalau bukan mengikuti hawa nafsu dan
cinta berbuat ghibah yang mendorong
orang tersebut
menyampaikan cerita tadi di hadapan manusia?!
Bukankah tujuan amar ma'ruf nahi munkar agar yang
ma'ruf tersebar di antara manusia, dan
yang mungkar
menjadi mati tak berkutik ?!
Kalau begitu mengapa disertai dengan pembicaraan dan
komentar, padahal tujuan telah tercapai?!
Ataukah sudah berbalik, sehingga orang yang mengajak
kepada yang ma'ruf telah diperintah
oleh syetan, dan
orang yang melarang kemungkaran, ia sendiri terjerumus
kedalam kemungkaran."8)
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah
berkata,"Dan perbedaan antara nasehat dan
ghibah
adalah bahwa nasehat itu bermaksud dalam rangka
memberi peringatan kepada seorang muslim dari
bahayanya ahli
bid'ah, penyebar fitnah, penipu, atau
perusak..."
Sampai beliau berkata,
"Maka apabila menceritakan kejelekan orang lain dalam
rangka nasehat yang diwajibkan oleh
Allah dan RasulNya
kepada hamba-hambanya kaum muslimin maka hal yang
demikian adalah taqarub kepada Allah, termasuk
amal
kebaikan , tetapi apabila menceritakan kejelekan orang
lain bermaksud mencela saudaramu dan menodai
kehormatan
dan memakan dagingnya agar engkau
menyia-nyiakan kedudukan dia di hati-hati manusia maka
maksiat tersebut merupakan
penyakit yang kronis dan
api yang melalap kebaikan sebagaimana api yang
membakar kayu bakar."9)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
"Menyebutkan kejelekan manusia dengan apa-apa yang
tidak disukai oleh mereka pada asalnya
ada dua macam:
Pertama: Menyebutkan perbuatannya.
Kedua: Menyebutkan orangnya yang tertentu, baik ia
masih hidup ataupun telah meninggal
dunia.
Yang pertama, setiap macam perbuatan yang dicela oleh
Allah dan RasulNya, maka seorang
muslim wajib
mencelanya pula, dan hal yang demikian bukanlah
termasuk perbuatan ghibah, sebagaimana setiap macam
perbuatan
yang dipuji oleh Allah dan RasulNya, maka
wajib ia memujinya pula ..."10)
Sampai beliau berkata,
"Apabila tujuannya adalah mengajak kepada kebaikan dan
menganjurkannya, serta melarang
keburukan dan
memperingatkan darinya, maka harus menyebutkan
keburukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, Nabi
shalallahu
'alaihi wasallam. Apabila mendengar
seseorang melakukan pelanggaran, beliau shalallahu
'alaihi wasallam bersabda,
"Mengapakah orang-orang memberikan syarat-syarat yang
tidak ada pada kitab Allah ? Barangsiapa
memberikan
syarat yang tidak ada pada kitab Allah, maka dia itu
batil, meskipun seratus syarat."11)
"Mengapakah orang-orang meninggalkan hal-hal yang aku
perbolehkan? Demi Allah, sesungguhnya
aku orang yang
paling bertaqwa kepada Allah dan yang paling tahu akan
batasan-batasannya di antara kalian."12)
"Mengapakah orang-orang ada satu di antaranya
mengatakan, "Adapun saya akan selalu berpuasa
tidak
akan berbuka," dan ada lainnya mengatakan, "Adapun
saya akan selalu bangun malam tidak akan tidur," dan
orang
lainnya berkata, "Saya tidak akan menikahi
wanita," dan yang lainnya mengatakan, "Saya tidak akan
makan daging." Tetapi
saya sendiri berpuasa dan
berbuka, bangun malam dan tidur, menikahi wanita,
makan daging, maka barangsiapa yang benci
terhadap
sunnahku, maka bukanlah ia termasuk golonganku."13)
Sampai beliau berkata,
"(Yang kedua), sedangkan menyebutkan keburukan orang
lain, sekaligus menyebutkan orangnya
dapat dilakukan
dalam beberapa kejadian tertentu.
Di antaranya orang yang dizalimi, maka ia berhak
menyebutkan orang yang menzaliminya, baik
dalam rangka
menolak kezalimannya ataupun untuk mendapatkan haknya,
sebagaimana Hindun berkata, "Wahai Rasulullah!
Sesungguhnya
Abu Sufyan seorang yang pelit, ia tidak
memberikan kecukupan nafkah kepadaku dan anakku,
(kecuali saya mengambil harta
darinya tanpa
sepengetahuan dia, maka baru mencukupi kami)," maka
beliau menjawab, "Ambillah apa-apa yang mencukupimu
dan
anakmu secukupnya."14) (Muttafaq alaih).
Sampai beliau berkata,
"Dan di antaranya dalam rangka memberi nasehat kepada
kaum Muslimin dalam urusan dien dan
dunia mereka
sebagaimana dalam Hadits yang shahih dari Fatimah
binti Qais ketika dia bermusyawarah dengan Nabi
shalallahu
'alaihi wasallam tentang siapa yang akan
dinikahinya ia berkata, "Abu Jahm dan Muawiyah telah
meminang saya." Maka beliau
memberikan nasehat,
"Adapun Muawiyah dia orang yang faqir tidak memiliki
harta, sedangkan Abu Jahm ia seorang yang suka
memukuli
wanita" dan diriwayatkan "ia tidak pernah
meletakkan tongkat dari bahunya", maka beliau
menjelaskan kepadanya bahwa
yang satu fakir, mungkin
tidak mampu memenuhi hakmu, dan yang satu lagi
menyakitimu dengan pukulan. Dan yang seperti
ini
adalah nasehat kepadanya - meskipun mencakup
penyebutan aib si peminang .Dan termasuk juga di
dalamnya, nasehat
kepada seseorang mengenai orang yang
akan diajak kerjasama, yang akan ia beri wasiat
kepadanya, dan yang akan menjadi
saksi bagi dia,
bahkan orang yang akan menjadi penengah urusan dia,
dan yang semisalnya.
Apabila hal ini berkenaan dengan maslahat khusus, maka
bagaimana dengan nasehat yang berhubungan
dengan
hak-hak kaum muslimin pada umumnya, berupa para
penguasa, para saksi, para karyawan, pegawai dan
selain dari
mereka ? maka tidak ragu lagi bahwa
nasehat dalam hal tersebut lebih agung lagi,
sebagaimana Nabi shalallahu 'alaihi
wasallam bersabda
:
"Dien itu nasehat, dien itu nasehat." Mereka berkata,
"Kepada siapa wahai Rasulullah?"
Beliau bersabda,
"Kepada Allah, kepada Kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, dan
kepada para penguasa kaum muslimin serta kepada
kaum
muslimin pada umumnya."15)
Dan mereka berkata kepada Umar Ibnu Khaththab mengenai
ahli syura, "Jadikanlah si fulan
dan si fulan sebagai
amir," lalu Umar menyebutkan kekurangan mereka berenam
satu persatu, padahal mereka seutama-utama
umat,
beliau menjadikan kekurangan yang ada pada mereka
sebagai penghalang bagi dia untuk memilih mereka.
Apabila demikian, maka nasehat yang berkenaan dengan
maslahat-maslahat dien, baik khusus
maupun umum
hukumnya wajib, seperti perawi hadits yang salah atau
yang berdusta sebagaimana Yahya bin Said berkata,
"Saya
bertanya kepada Malik dan Ats-Tsaury dan
Al-Laits bin Sa'ad, saya kira dia, dan Al-Auzai
mengenai seseorang yang tertuduh
dalam hadits atau
tidak hafal. Mereka semuanya berkata, 'Jelaskan
keadaannya'." Dan sebagian orang berkata kepada Imam
Ahmad
bin Hambal, "Sesungguhnya berat bagi saya untuk
mengatakan si fulan begini dan si fulan begitu." Maka
beliau berkata,
"Apabila engkau diam dan saya diam,
maka kapan orang yang jahil mengetahui dan dapat
membedakan yang shahih dan bercacat?!"
Begitu pula misalnya, dalam rangka menjelaskan para
imam ahli bid'ah, baik tokoh mereka
dalam hal aqidah
ataupun tokoh mereka dalam hal ibadah yang
bertentangan dengan Al-Qur'an dan As Sunnah, maka
penjelasan
keadaan mereka dan peringatan umat dari
bahaya mereka hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan
kaum muslimin sampai-sampai
dikatakan kepada Ahmad bin
Hambal, "Mana yang lebih engkau cintai, seseorang yang
puasa dan shalat serta ber'itikaf
ataukah orang yang
membantah ahli bid'ah?" Maka beliau menjawab, "Apabila
dia shalat, puasa dan i'tikaf maka hanya untuk
dirinya
sendiri, dan apabila ia membantah ahli bid,ah maka hal
itu untuk kepentingan kaum muslimin dan ini yang lebih
utama."
Maka ia menjelaskan bahwa manfaat hal ini
untuk kepentingan kaum muslimin pada umumnya dalam
dien mereka. Maka membantah
ahli bid'ah termasuk jihad
di jalan Allah, di mana memurnikan dien Allah, jalan,
manhaj, dan syari'atNya serta menolak
kejahatan dan
permusuhan mereka merupakan wajib kifayah berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin, kalau tidak ada orang
yang
Allah tampilkan untuk menolak bahaya mereka tentu dien
ini akan rusak, dan rusaknya itu lebih parah dari
sekedar
musuh yang menjajah kaum muslimin, karena
apabila mereka menguasai, mereka hanya
menguasai fisik pada mulanya dan belum menguasai hati
dan dien meskipun nantinya mereka
pun berusaha
menjajahnya pula, sedangkan ahli bid'ah mereka sejak
awal sudah merusak hati-hati manusia.
Dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam telah bersabda,
"Sesunggguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa
kalian dan harta kalian tetapi Ia
melihat kepada
hati-hati kalian dan amal-amal kalian"16)
Dan Allah berfirman dalam kitabNya :
"Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata
dan telah Kami
turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan
Kami
ciptakan besi yang padanya terdapat kekuataan yang
hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya
mereka mempergunakan
besi itu) dan supaya Allah
mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan
Rasul-RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya.
Sesungguhnya
Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa."
(Surat Al-Hadid 25)
Maka Allah memberitahukan bahwa Dia telah menurunkan
Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar
manusia
melaksanakan keadilan, dan Dia telah menurunkan besi,
sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Maka
tonggak
bagi dien itu adalah Al-Kitab yang memberi
petunjuk dan pedang yang memberi pertolongan.
"Dan cukuplah Rabbmu menjadi Pemberi petunjuk dan
Penolong." (Surat Al-Furqan 31)
Dan Al-Kitab dialah sebagai pokok, oleh karena itu
pertama kali Allah mengutus RasulNya,
Ia menurunkan
kepada beliau Al-Kitab, selama beliau tinggal di
Makkah,Allah belum memerintahkan beliau mengangkat
pedang
sampai beliau hijrah dan mempunyai
pendukung-pendukung yang siap untuk berjihad.
Dan musuh-musuh dien itu ada dua macam: Orang-orang
kafir dan orang-orang munafik. Dan
Allah telah
memerintahkan NabiNya untuk berjihad melawan dua
kelompok tersebut sebagaimana dalam firmanNya,
"Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan
orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah
kepada
mereka." (Surat At-Taubah 73)
Apabila orang-orang munafik berbuat bid'ah yang
bertentangan dengan Al-Kitab,dan menipu
manusia, lalu
tidak dijelaskan kebid'ahan ini kepada manusia, maka
rusaklah Al-Kitab, dan berubahlah dien ini,
sebagaimana
dien ahli kitab sebelum kita telah rusak
pula disebabkan terjadinya perubahan dalam dien
tersebut, sedangkan pelakunya
tidak diingkari.
Dan apabila mereka itu bukan orang-orang munafik, akan
tetapi mereka itu pendengar setia
terhadap ucapan
orang-orang munafik, tanpa mereka sadar bahwa
bid'ah-bid'ah orang-orang munafik tersebut telah
meracuni
mereka sehingga mereka menyangka bahwa
ucapan-ahli bid'ah tersebut benar, padahal
sesungguhnya menyalahi Al-Kitab maka
jadilah mereka
itu juru da'wah yang mengajak kepada bid'ah-bid'ah
orang munafik dan menjadi corong mereka. Sebagaimana
Allah
Subhana wa Ta'ala berfirman,
"Jika mereka berangkat bersama-sama kalian niscaya
mereka tidak menambah kalian, kecuali
kerusakan
belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka
dicelah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di
antaramu,
sedang di antara kalian ada orang-orang yang
amat suka mendengarkan perkataan mereka." (Surat At
Taubah 47)
Maka menjelaskan keadaan mereka harus dilakukan juga,
bahkan fitnah dari apa yang mereka
lakukan itu lebih
besar, karena pada diri mereka ada keimanan yang
mewajibkan kita untuk loyal kepada mereka, dan mereka
telah
terperosok kepada bid'ah-bid'ahnya orang-orang
munafik yang merusak dien ini, maka harus adanya
peringatan dari bid'ah-bid'ah
tersebut, meskipun harus
dengan meyebutkan mereka dan menunjukkan
orang-orangnya, bahkan meskipun bid'ah yang mereka
sebarkan
bukan didapat dari orang-orang munafik,
tetapi mereka mengucapkannya dengan persangkaan
bahwasanya bid'ah tersebut adalah
petunjuk dan
kebaikan serta dari ajaran dien, padahal sesungguhnya
bukan demikian, maka wajib pula menjelaskan keadaan
mereka.
Oleh karena itu, wajib hukumnya menjelaskan keadaan
orang yang salah dalam hadits dan riwayat,
dan orang
yang salah dalam pendapat dan fatwa, dan orang yang
salah dalam hal zuhud dan ibadah, meskipun orang yang
salah
itu seorang mujtahid 17) yang telah diampuni
kesalahannya, bahkan mendapat pahala atas ijtihadnya
yang salah tersebut,
maka penjelasan perkataan dan
perbuatan yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah
hukumnya adalah wajib, meskipun harus
bertentangan
dengan ucapan dan perbuatannya seorang mujtahid.
Apabila diketahui bahwa kesalahan mujtahid tersebut
berupa ijtihad yang memenuhi kriteria
dan persyaratan
sebagai ijtihad, yaitu berdasarkan kaidah-kaidah
syariah yang benar maka tidak boleh mencela dalam
menyebutkan
kesalahannya dan tidak boleh mengatakannya
sebagai perbuatan dosa, karena sesungguhnya Allah
telah mengampuni kesalahannya,
bahkan wajib loyal dan
cinta kepadanya dikarenakan padanya terdapat iman dan
taqwa, dan wajib menunaikan hak-haknya,
berupa pujian
dan doa serta yang lainnya.
Dan apabila diketahui darinya bahwa ia itu sebagai
orang-orang munafik sebagaimana diketahui
di masa
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam seperti
Abdullah bin Ubai dan konco-konconya, sebagaimana kaum
muslimin
mengetahui akan kemunafikan orang-orang Syiah
Rafidhah, seperti Abdullah bin Saba dan yang
sebangsanya, seperti Abdul
Qudus Ibnul Hajjaj, dan
Muhammad bin Sa`id Al-Mashlub, maka tipe seperti ini
disebutkan pula kemunafikannya.
Dan apabila seseorang menyebarkan kebid`ahan dan belum
diketahui apakah dia itu termasuk
orang munafik atau
seorang mu'min yang berbuat kesalahan disebutkan
sesuai dengan apa-apa yang diketahui darinya, maka
tidaklah
halal bagi seseorang untuk berbicara tanpa
ilmu, dan tidak halal baginya untuk berbicara dalam
bab ini, kecuali dengan
ikhlas semata-mata mencari
ridha Allah Subhana wa Ta'ala, dan agar kalimat Allah
menjulang tinggi dan agar dien itu
semuanya milik
Allah.
Maka barangsiapa yang berbicara dalam hal yang
demikian tanpa ilmu atau terbukti bertentangan
dengan
fakta, maka ia berdosa.
Dan begitu pula halnya seorang hakim, saksi, dan
mufti, sebagaimana Nabi shalallahu 'alaihi
wasallam
bersabda,
"Macam-macam hakim itu ada tiga: dua di antaranya di
neraka dan satu di surga. Seorang
yang mengetahui
kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan
kebenaran, maka ia di surga, dan seorang yang yang
memutuskan
perkara kepada manusia atas kebodohan, maka
dia di neraka, dan seorang mengetahui kebenaran, maka
dia memutuskan perkara
dengan menyalahi kebenaran yang
ia ketahui, maka dia di Neraka." 18)
Dan Allah Subhana wa Ta'ala berfirman,
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah orang-orang
yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi
karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu
bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya atau miskin,
maka
Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah
kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang
dari kebenaran.
Dan jika kalian memutarbalikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
segala apa
yang kalian kerjakan." (Surat An-Nisaa 135)
sebagaimana terdapat dalam Shahihain (Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim) dari Nabi shalallahu
'alaihi
wasallam bahwasanya beliau bersabda:
"Penjual dan pembeli itu sebelum keduanya berpisah
diperbolehkan untuk memilih (apakah
melangsungkan jual
belinya atau membatalkannya), apabila keduanya jujur
dan menjelaskan (keadaan yang sebenarnya) maka
keduanya
mendapatkan barakah dalam jual belinya,
tetapi apabila keduanya dusta dan menyembunyikan
(keadaan yang sebenarnya),
maka barakah jual beli
keduanya terhapus."
Kemudian orang yang berbicara dengan ilmu dalam hal
tersebut harus mempunyai niat yang
baik, maka apabila
ia berbicara dengan benar akan tetapi bermaksud
berbuat kesombongan di muka bumi atau kerusakan maka
kedudukannya
seperti orang yang berperang dengan
jahiliyah dan berbuat riya. Adapun jika dia berbicara
dengan ikhlas karena Allah
Ta'ala semata, maka ia
termasuk mujahidin di jalan Allah, termasuk pewaris
para nabi, penerus para Rasul. Dan hal ini
sama sekali
tidak menyalahi sabda beliau, "Ghibah itu menyebutkan
kejelekan saudaramu yang membuat ia tidak suka
(apabila
mendengarnya)," karena "Al-Akh" tersebut
sebagai mu'min, dan "Al-Akh" yang mu'min apabila ia
benar imannya tidak akan
benci atas apa yang telah
engkau katakan berupa kebenaran, di mana Allah dan
RasulNya mencintai kebenaran tersebut,
meskipun dalam
pelaksanaan kebenaran tersebut merugikan dirinya atau
teman-temannya, tetap harus berbuat adil, dan menjadi
saksi
karena Allah, meskipun terhadap diri sendiri,
atau kedua orang tua, atau karib kerabatnya, apabila
ia benci kepada kebenaran,
maka imannya berkurang,
kalau begitu akan berkurang persaudaraan dia sebanding
dengan berkurangnya keimanan dia." (Wallahul
Musta'an.)19)
Footnote:
8 "Al-Ghibah wa Atsaruha As-Sayyi fil
Mujtama'Al-Islami" hal.58
9 Ar-Ruuh, hal 357-358
10 Majmu'Fatawa juz 28 hal.225
11 Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Bukhari
dalam Al Mukatab (2563) dari Aisyah."
12 Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Bukhari
dalam kitab Al-I'tisham (7301) dari
Aisyah dengan
lafadz yang mendekati."
13 Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Bukhari
dalam kitab An-Nikah (5062) dan
H.R.Muslim dalam kitab
An-Nikah (1401/5)."
14 Majmu Fatawa, juz 28, hal 229
15 H.R.Muslim
16 Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Muslim
dalam kitab Al-Birru was Shilah (2564/33-34)
dan
H.R.Ibnu Majah dalam kitab Az-Zuhd (4143)."
17 Dari ucapan Syaikhul Islam di atas agar menjadi
cambuk bagi kita semua selaku penuntut
ilmu untuk
serius mempelajari ushul fiqh dan dan kaidah-kaidah
yang sesuai dengan manhaj salaf agar kita dapat
menimbang
dan menilai ijtihad-ijtihad para ulama dalam
masalah tertentu yang seringkali mereka berbeda
pendapat didalamnya, lalu
kita berusaha mentarjihnya
berdasarkan ilmu yang benar bukan berdasarkan hawa
nafsu.
Di antara buku-buku yang dinasehatkan oleh Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
kepada
para penuntut ilmu untuk mempelajarinya berkenaan
dengan masalah ushul fiqh dan kaidah-kaidah bagi dien
yang
mulia ini adalah :
1. I'lamul Muwaqi'in oleh Imam Ibnu Qoyyim
Al-Jauziyyah rahimahullah
2. Irsyadul fuhul oleh Imam As-Syaukani rahimahullah
3. Tahshilul ma'mul oleh Syaikh Siddiq Hasan Khan
rahimahullah (Nasehat mengenai masalah
ini dapat
didengar dari kaset beliau yang berjudul Tidak
Berta'ashub)
18 H.R. Abu Daud pada Al Aqdhiyah (3573) dan Ibnu
Majah pada AlAhkam
(2315), kedua-duanya dari Buraidah.
(Majmu'atul Fatawa, juz 14 hal. 399)