Pada zaman Rosulullah .Kaum muslimin
menerima hukum-hukum Islam langsung dari rosululllah .Dengan membaca Al qur an memahamiNya dan mengamalkan titah dan perintahNya.
Selain itu ,mereka juga mendapatkan tambahan berupa wahyu dari Allah taala dalam
bentuk: ucapan ,tindak -tanduk dan ketetapan Rasul.
Selain dua sumber diatas,mereka mendapatkan tambahan berupa ijtihad-umum- terhadap
apa yang dilakukan Rosulullah Saw.Kemudian dikukuhkan atau di koreksi oleh wahyu.
Sesudah itu datanglah jaman para sahabat.Mereka menerapkan wahyu di sepanjang
kehidupan mereka. Baik yang berupa Al qur` an maupun yang berupa Sunnah.
Apabila mereka menemukan kasus baru,mereka berijtihad melalui bimbingan Rosululllah
.Yaitu dg apa yang mereka ketahui dari Al qur`an dan Sunnah,berdasarkan pengalaman mereka karena dekatnya dengan proses turunya
wahyu,berkat pengetahuan mereka terhadap sebab musabab di turunkanya wahyu itu,dan berkat pelajaran yang mereka peroleh dari
sekolah Rosulullah .
Sejak itulah ilmu fiqih lahir ke dunia tanpa nama dan tanpa pencacahan atau pendaftaran.
Menyusul sesudah itu zaman At-tabiin dan Tabi`it-Tabi`in.Dan sejak saat itu bertambah pesat dan luaslah ijtihad,mengikuti
perkembangan kasus yang makin banyak banyak dan membengkak.
Jejak mereka itu juga di ikuti oleh para iman yang juga aktif dalam lapangan ijtihad.Pada abad kedua dan ketiga Hijriyah
dimulailah penulisan sunnah dan penulisan ilmu fiqih.
Dan yang pertama-tama adalah penulisan buku Al –Muwat-Tha` oleh Al –Imam Malik,sesuai dengan permintaan
Khalifah Al-Mansyur.Kitab ini merupakan kitab hadits sekaligus kitab fiqih.
Menyusul langkah Imam Malik adalah Imam Abu yusuf,rekan Abu Hanifah,yang menulis beberapa buah buku serupa.Kemudian
Al Imam Muhammad bin Al-Hasan menulis bukunya :Dhahirur riwayat As Sittah,di Himpun oleh Al Hakim yang tersohor dalam Al-Kahfi
dan di berikan penjelasan oleh As Sarkhasi dalam Al Mabshuth.
Disusul sedudah itu oleh As Syafi`I dengan bukunya :Al-Um ,yang merupakan pegangan mazhab As-Syafi`i.
Sejak saat itu pesatlah ijtihad dan penulisan kitab .
Ilmu Fiqih model diatas (yang mengaitkan ijtihad) adalah merupakan perkawinan antara pemikiran dan wahyu atau dengan
kata lain” pencerahan akal dengan cahaya wahyu” Ternyata ini merupakan pencerahan ilmu Islam yang paling subur,jauh
mendahului apa yang di berikan bangsa eropa sesudah mereka mencapai puncak kejayaan pemikiran dalam menguraikan perundang-undangan
atau teori fiqih.
Seputar Mandi Wajib
Penyusun : Abu Salma al-Atsary
Definisi :
al-Ghaslu الغسل artinya adalah تعميم البدن بالماء membasahi seluruh tubuh dengan air
Dalilnya :
1) Firman Allah Ta’ala : (
وإن كنتم جنباً فاطهروا)“Jika
kamu dalam keadaan junub maka bersucilah” (al-Maidah : 6)
2) Firman Allah Ta’ala : ويسألونك عن المحيض
قل هو أذى فاعتزلوا النساء
في المحيض ولا تقربوهن
حتى يطهرن ”Mereka bertanya kepadamu tentang darah haidh, katakan
bahwa darah haidh itu kotor, maka jauhilah wanita-wanita yang sedang haidh janganlah kau dekati mereka hingga mereka suci.”
(al-Baqoroh : 222)
Penyebab Wajibnya Mandi :
1) Keluarnya mani baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan tertidur.
2) Jima’ (bersenggama) walaupun tidak keluar mani.
3) Seorang kafir yang baru masuk islam.
4) Berhentinya haidh dan nifas.
Dalilnya :
1) Wajib mandi jika keluar mani baik dalam keadaan terjaga maupun tidur. Berdasarkan
hadits Ummu Salamah bahwasanya Ummu Sulaim berkata : ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran,
apakah wajib bagi wanita mandi jika mereka bermimpi?” Rasulullah menjawab : نعم إذا رأت الماء
”Iya jika dia melihat adanya air” (Muttafaq ’alaihi)
2) Jima’ walaupun tidak sampai keluar mani maka wajib mandi berdasarkan
hadits Abu Hurairoh رضي
الله عنه berkata : Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda
: إذا قعد
بين وإن لم ينزل شعبيها الأربع
ثم جهدها فقد وجب الغسل ”Jika
seseorang duduk di antara cabang yang empat dan ia bersungguh-sungguh di atasnya maka wajib baginya mandi walaupun tidak sampai
keluar” muttafaq ’alaihi dengan tambahan lafazh وإن لم ينزل dari Muslim.
3) Seorang Kafir baru masuk islam wajib mandi berdasarkan riwayat Qais bin
’Ashim bahwasanya beliau masuk islam dan nabi صلى الله عليه وسلم
memerintahkannya untuk mandi dengan air dan bidara. (Shahih diriwayatkan Nasa’i, Turmudzi dan Abu Dawud)
4) Berhenti haidh dan nifas wajib mandi berdasarkan hadits Aisyah, bahwasanya
nabi صلى الله
عليه وسلم berkata kepada Fathimah binti Abi Hubaisy : ”Jika
datang haidh maka tinggalkan sholat dan jika telah lewat maka mandilah dan sholatlah” (Muttafaq ’alaihi). Dan
Nifas hukumnya sama dengan haidh menurut ijma’
Rukunnya :
1) Niat.
2) Membasahi seluruh badan dengan air.
Kaifiyat (cara)nya :
1) Membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan tangan tiga kali.
2) Mencuci kemaluan dan sekitarnya.
3) Berwudlu’ secara sempurna sebagaimana wudlu’ akan sholat dan mengakhirkan
membasuh kakinya hingga selesai mandi.
4) Menyiramkan air ke kepala tiga kali sambil menyela-nyelai rambut agar air mengenai
ke kulit kepala.
5) Menyiramkan air ke seluruh tubuh yang dimulai dari bagian kanan kemudian bagian
kiri dengan cara dipijat/ditekan sampai sela-sela jari jemari dan kedua lubang telinga.
6) Membasuh kedua kaki.
Dalilnya :
ما جاء
عن ائشة رضي الله عنها
أن النبي صلى الله عليه
وسلم كان إذا اغتسل من
الجنابة بدأ فيغسل يديه
ثم يفرغ بيمينه على شماله
فيغسل فرجه ثم يتوضأ وضوءه
للصلاة ثم يأخذ الماء
ويخل أصابعه في أصول الشعر
حتى إذا أنه (استبرأ حقن
على رأسه ثلاث حثيات ثم
أفاض على سائر جسده) رواه
البخاري ومسلم وفي رواية
بدأ بشق رأسه الأيمن ثم
الأيسر. وكذلك حديث ميمونة
في البخاري
Hadits yang
diriwayatkan oleh Aisyah bahwasanya Nabi صلى
الله عليه وسلم jika mandi janabah beliau memulai
dengan membasuh kedua tangannya yang diawali dengan tangan kanannya kemudian tangan kirinya, kemudian beliau membasuh kemaluannya
dan berwudlu’ sebagaimana wudlu’nya akan sholat. Kemudian beliau mengambil air sembari memasukkan jari-jemarinya
(menyelai-nyelai) kulit kepalanya sampai beliau memandang bahwa kulit kepalanya telah basah, lantas beliau mengguyur kepalanya
dengan tiga gayung air, setelah itu beliau menyiram seluruh tubuhnya. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, di dalam riwayat
lainnya beliau memulai dengan menyelai-nyelai kepala bagian kanan kemudian kirinya. Demikian hadits Maimunah yang diriwayatkan
Bukhari.
Masalah 1 :
Tentang kesepakatan ulama di dalam hal-hal yang mewajibkan mandi janabat.
Para ulama bersepakat
bahwa mani yang keluar dengan syahwat maka wajib mandi baik laki-laki maupun wanita, baik ketika terjaga maupun tidur. Demikian
pula wajib bagi wanita yang selesai dari haidh dan nifas untuk mandi.
Dalilnya :
Firman Allah
Ta’ala : فإذا
تطهرن فأتوهن ”Jika mereka telah suci maka datangilah mereka”
Hadits Fathimah
binti Abi Hubaisy : دعي
الصلاة قدر الأيام التي
كنت تحيضين فيها ثم اغتسلي
وصلي “Aku meninggalkan sholat beberapa hari di kala aku sedang haidh kemudian aku mandi dan aku sholat (di saat telah
berhenti dari haidh)” Muttafaq ’alaihi.
Masalah 2 :
Mani yang keluar bukan karena syahwat
Para ulama berbeda
pendapat tentang mani yang keluar bukan karena syahwat, seperti karena sakit atau karena dingin, menjadi dua pendapat.
Pendapat
pertama : Tidak wajib mandi sebagaimana pendapatnya Imam Malik dan
Abu Hanifah
Pendapat
kedua : Wajib mandi sebagaimana pendapatnya Imam Syafi’i.
Dalil Pendapat Pertama :
1) Bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم mensifati
mani yang wajib mandi adalah yang berwarna putih kental sebagaimana di dalam hadits Ummu Sulaim yang diriwayatkan Muslim bahwasanya
beliau bertanya kepada Nabiullah صلى
الله عليه وسلم tentang seorang wanita yang melihat
di dalam mimpinya sebagaimana apa yang dilihat oleh seorang lelaki. Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjawab
: إذا رأت
ذلك المرأة فلتغتسل ”Jika wanita melihatnya (mani, pent.)
maka wajib atasnya mandi”. Syahid
dari hadits di atas adalah bahwasanya mani keluar dengan syahwat.
2) Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud secara marfu’ : إذا رأيت فضخ
الماء فاغتسلي ”Jika seorang wanita melihat
air yang memancar maka hendaknya mandi”. Dan الفضخ keluarnya dengan kuat.
3) Hadits nabi صلى الله عليه وسلم
yang berbunyi : ”Jika air keluar dengan memancar maka wajib mandi janabat dan jika tidak memancar tidak wajib mandi.”
(Hasan Shahih di dalam Irwa’ul Ghalil). Imam Syaukani berkata : ”Memancar
adalah menyembur, dan tidaklah akan demikian jika tidak disertai syahwat.” Oleh karena itu Syaikh Abdul Azhim Badawi
berkata : ”Di dalam hadits ini terdapat peringatan tentang mani yang keluar karena bukan syahwat baik dikarenakan sakit
ataupun dingin maka tidak wajib mandi.”
Dalil Pendapat Kedua :
1) Hadits Ummu Sulaim, beliau berkata : Apakah wajib bagi seorang wanita mandi
jika dia bermimpi? Maka nabi صلى
الله عليه وسلم menjawab : نعم إذا هي رأت
الماء ”Iya jika ia melihat adanya air” Muttafaq ’alaihi.
2) Hadits Abu Sa’id al-Khudri beliaui berkata : Rasulullah صلى الله عليه
وسلم bersabda : الماء
من الماء ”air (untuk mandi) karena air (mani)” Diriwayatkan oleh
Muslim.
Yang Rajih (kuat) adalah pendapat pertama, yaitu tidak wajib baginya mandi.
Bantahan
terhadap hadits pertama adalah, sesungguhnya hadits tersebut menunjukkan
mani yang keluar di saat mimpi adalah dengan syahwat.
Bantahan
terhadap hadits kedua adalah, sesungguhnya hadits tersebut mansukh karena Abu Hurairoh رضي الله عنه berkata : Nabi صلى الله عليه
وسلم bersabda : إذا
قعد بين شعبيها الأربع
ثم جهدها فقد وجب الغسل ”Jika
seseorang duduk di antara cabang yang empat dan ia bersungguh-sungguh di atasnya maka wajib baginya mandi” Muttafaq
’alaihi. Dan dalam riwayat Muslim terdapat tambahan : وإن لم ينزل ”Walaupun tidak sampai
keluar (mani)”.
Syahid dari hadits di atas adalah : Rasulullah
صلى الله
عليه وسلم mewajibkan mandi walaupun tidak sampai keluar (mani).
Wallahu a’lam.
Masalah 3 :
Bermimpi namun tidak melihat adanya air (tidak basah)
Barangsiapa bermimpi namun dia tidak mendapatkan air (mani) maka tidak wajib mandi janabat, dan barangsiapa tidak
ingat telah bermimpi namun mendapatkan air maka wajib atasnya mandi.
Dalilnya :
Dari Aisyah beliau berkata, ”Rasulullah صلى الله عليه وسلم
ditanya tentang seorang lelaki yang mendapatkan basah namun ia tidak ingat telah bermimpi, maka beliau menjawab : dia wajib
mandi. Beliau juga ditanya tentang seorang lelaki yang mengingat dirinya bermimpi namun dia tidak mendapatkan basah, maka
beliau menjawab : dia tidak wajib mandi.” (Shahih, diriwayatkan Abu Dawud dan Turmudzi).
Masalah 4 :
Perkataan ulama tentang menggosok tubuh dengan air ketika mandi.
Para ulama berbeda
pendapat tentangnya menjadi dua pendapat :
Pendapat
pertama : Menggosok hukumnya wajib menurut Malikiyah dan al-Muzanni
dari kalangan Syafi’iyah.
Pendapat
kedua : Menggosok tidak wajib hukumnya, dan ini adalah pendapat jumhur.
Dalil pendapat pertama
:
Hadits Abu
Hurairoh رضي الله
عنه yang
berbunyi : تحت كل
شعرة جنابة فبلوا الشعر
وأنقوا البشرة ”Setiap bagian rambut terdapat janabah maka basahilah rambut dan ratakan
seluruhnya” diriwayatkan oleh Turmudzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Sisi
pendalilannya : bahwasanya الأنقاء (meratakan) tidak tidak menghasilkan الإفاضة (membasahi) namun menghasilkan التدليك (memijat/menggosok).
Dalil Pendapat kedua :
1) Hadits Aisyah yang di dalamnya terdapat lafazh : ثم أفاض الماء
على سائر جسده ”kemudian mengguyur seluruh tubuhnya dengan air”.
Muttafaq ’alaihi.
2) Hadits Maimunah yang berbunyi : ثم أفرغ على جسده
”Kemudian menuangkan ke atas tubuh”. Riwayat Muslim.
3) Hadits Ummu Salamah, beliau berkata : يا رسول الله
إني أمرأة أشد ضفر رأسي
أفأنقضه لغسل الجنابة
قال لا إنما يكفيك ان تحثي
على رأسك ثلاث حثيات ثم
تفيضي عليه الماء فتطهرين
”Wahai Rasulullah sesungguhya aku adalah wanita yang lebat rambutnya, apakah perlu aku menguraikan rambutku ketika mandi
janabat?” beliau menjawab, ”Tidak, sesungguhnya telah mencukupi kau mengguyurnya dengan tiga cidukan air kemudian
ratakan maka kau telah bersuci.”
Sisi
pendalilannya : Bahwasanya hadits Aisyah dan hadits Maimunah tidak menyebutkan di dalamnya tentang التدليك (memijat/menggosok), sesungguhnya yang disebutkan
di dalamnya adalah إفراغ
الماء (menuangkan
air) yang kalimatnya datang dalam bentuk الحصر pembatasan
dengan kata (إنما). Pembatasan ini menunjukkan bahwa التدليك (memijat) tidaklah wajib, dan jika seandainya wajib
maka niscaya akan diperintahkan untuk melakukannya.
Yang Rajih adalah pendapat jumhur dikarenakan kuatnya dalilnya.
Masalah 5 :
Batasan dikatakan jima’ (bersenggama)
Yang dimaksud denga
jima’ adalah ’bertemunya dua khitan’ walaupun tidak sampai keluar mani. Dan batasan khitan bagi pria adalah kepala penis dan bagi wanita adalah daging
yang tumbuh di bagian atas vagina (clitoris). Jadi batasan jima’ adalah bila kepala farji pria telah hilang (tidak tampak)
masuk di dalam farji wanita. Jika hanya menggesek di permukaan farji wanita maka belum masuk ke dalam batasan jima’.
Jika seseorang melakukan
ístimta’ (bersenang-senang) dengan isteri tidak sampai memasukkan farjinya
hanya menggesek-gesekkan saja, namun keluar mani, maka wajib mandi wajib dari sisi keluarnya mani dengan syahwat bukan dari
sisi jima’.
Masalah 6 :
Wajibkah bagi wanita yang panjang rambutnya menguraikan rambutnya?
Pendapat yang rajih
adalah wajib bagi wanita yang mandi karena haidh agar menguraikan rambutnya namun tidak wajib menguraikan rambutnya bagi wanita
yang mandi janabat.
Dalilnya :
Sifat mandi janabah
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah, Maimunah dan Ummu Salamah yang telah lewat penyebutannya.
Sifat mandi
wajib karena haidh adalah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah, suatu ketika Asma’ bertanya kepada nabi صلى الله عليه
وسلم tentang mandi haidh, beliau menjawab : ”Ambillah air dan bidara dan bersihkanlah (farjimu) dengan sebersih-bersihnya,
kemudian siramlah kepalamu dan gosoklah dengan kuat hingga mengenai seluruh bagian kepalamu, lalu siramlah dengan air. Setelah
itu ambillah kapas yang dicelup wewangian dan sucikanlah dengannya.” Asma’ berkata : ”Bagaimana bersuci
dengannya?” Nabi menjawab : ”Maha suci Allah bersucilah dengannya!” Aisyah berkata seakan-akan ia kawatir
dengan akan tampaknya bekas darah.
Hadits ini merupakan
dalil yang terang tentang perbedaan mandi janabat dengan mandi haidh, dimana pada mandi haidh nabi memberikan porsi tersendiri
yang lebih menekankan pensuciannya dengan menggosok kepala dan menguraikan rambut, sedangkan tidak demikian pada mandi janabat.
Hadits Ummu Salamah menunjukkan sifat mandi janabah yang tidak wajib menguraikan rambut. Secara asal, menguraikan rambut adalah
sebagai peyakin supaya kulit kepala bisa terkena air namun hal ini dimaafkan pada saat mandi janabat karena intensitas mandi
janabat relatif berulang-ulang dan karena timbulnya kesukaran yang sangat bagi wanita untuk menguraikan rambutnya setiap akan
mandi janabat. Berbeda dengan mandi haidh karena hanya dilakukan sekali sebulan. (Tahdzib Sunan Abu Dawud oleh Ibnul Qoyyim
(I/167/166) dengan sedikit perubahan).
Maraji’ :
1. Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah karya Syaikh Abdul Azhim Badawy, Kitaab ath-Thohaaroh,
Bab al-Ghaslu, hal. 44-46
2. Marshd
as-Salafiy as-Sudaaniy, Bab al-Ghoslu, oleh Ustadz Husain Jailani, http://www.marsd.net/
3. Muhadharah
Fiqh oleh al-Ustadz Ahmad Sabiq, Lc. di Ma’had as-Sunnah Surabaya (4 Muharam 1426/13 September 2005)