Perbedaan
Saudaraku,
semoga Allah merahmatimu, menuntut ilmu tidak boleh menuntut kesempurnaan. Setiap manusia pastilah memiliki kesalahan dan
sebaik-baik orang yang salah adalah yang bertobat. Tidak ada satupun manusia yang tindak-tanduknya dapat dicontoh secara menyeluruh
kecuali Shodiqul Mashduq (Rosululloh). Satu ulama berlimpah dalam satu bidang ilmu tapi amat kurang dalam bidang yang lain.
Ulama lainnya berlimpah dalam ilmu yang lain dan kurang dalam ilmu yang lain lagi dan demikian seterusnya. Lihatlah Imam Hasan
Al Bashri. Ia dituduh mudallis dan banyak riwayatnya yang tidak diterima. Tapi tidak ada seorang Ahlussunnahpun yang meragukan
kezuhudan Imam Ahlussunnah Wal Jamaah ini. Begitupun Syaikhul Islam Abdul Qodir Al Jailani yang tergelincir dalam kegelapan
tasawuf. Tapi tidak ada yang yang meragukan kealiman Imam Salafiyyin ini. Jikalau guru-gurumu itu ahli ijtihad maka cukuplah
sabda kekasihku:
Apabila seorang hakim memberi keputusan, lalu ia berijtihad, kemudian ia benar maka baginya dua pahala, dan jika
ia memberi keputusan, lalu ia berijtihad kemudian salah maka baginya satu pahala (lihat Shohih
Bukhori kitab Al I'tishom dan Muslim kitab Al Aqdhiyah)
Saudaraku,
semoga Allah merahmatimu, kita tidak boleh mencela seseorang dan mengatakan ia sesat selama belum tegak hujjah atasnya. Yang
demikian itu disebabkan tiada manusia yang terbebas dari kesalahan. Setiap orang pernah tergelincir dalam kesalahan. Tugas
seorang murid adalah meninggalkan kesalahan gurunya dan mengikuti gurunya apabila sesuai dengan ajaran Allah dan Rosul-Nya.
Saudaraku,
semoga Allah merahmatimu, engkau tidak usah menghindar jikalau gurumu salah dalam masalah khilafiah atau bahkan ia adalah
pemabuk dan penzina. Tapi menjauhlah dari gurumu jikalau engkau melihat Ia hendak membuat tandingan bagi Robbul Alamin. Jikalau
ia berkata, “Sesungguhnya perkataanku sajalah yang benar. Pergilah engkau jika tidak menurutiku” maka pergilah.
Jikalau ia berkata, “Sesungguhnya demikianlah kudapati dalam Kitabulloh dengan bimbingan Rosul-Nya. Tidaklah aku berpendapat
kecuali mengikuti pendapat para salaful ummah (shohabat Rosululloh)” maka Insya Allah hal itu tidak masalah.
Saudaraku,
semoga Allah merahmatimu, aku akan memberikan kaidah kepadamu dalam mengambil dalil bagi setiap tindakkanmu. Ikutilah Al Quran
dengan Hadits Rosululloh yang shohih dan hasan berdasarkan pemahaman Salaful Ummah (Shohabat Rosululloh). Yang demikian karena
Hadits Shohih dan Hasan benar-benar hadits yang berasal dari Rosululloh. Yang demikian karena Al Quran turun di zaman para
Shohabat dan Hadits turun dengan bahasa para Shohabat. Mereka lebih tahu maknanya dari siapapun di muka dunia ini. Jika tidak
kau temukan yang demikian, ikutilah pendapat pribadi para shohabat Rosululloh selama tidak menyelisihi Rosululloh. Jika tidak
kau temukan, ikutilah pendapat Tabi'in selama tidak menyelisihi Rosululloh. Jika tidak kau temukan juga, ikutilah pendapat
Tabi'it Tabi'in selama tidak menyelisihi Rosululloh. Jika tidak kau temukan, ikutilah para Imam Ahlussunnah Wal Jamaah selama
tidak menyelisihi Rosululloh. Jika masih tidak engkau temukan maka kaidahnya satu di antara dua. Jika ini perkara dunia, dia
halal selama tidak ada dalil yang mengharamkan. Jika ini perkara akhirat (tata cara beribadah dan keimanan), dia haram selama
tidak ada dalil yang menjelaskan.
Saudaraku,
semoga Allah merahmatimu, kendatipun para ulama telah mengikuti kaidah ini, perselisihan masih tetap terjadi. Demikianlah,
Allah hendak menguji kita seberapa kesungguhan kita mencari kebenaran dan wara' dalam agama yang diturunkan-Nya. Selama engkau
mengikuti kaidah ini dan bersabar (jika mendapat tekanan dan godaan), Insya Allah engkau termasuk Ahlussunnah Wal Jamaah As
Salafiyyah.
Sebagai
penutup, saya bawakan perkataan seorang penjual minyak wangi* Hafidzuhulloh dalam bukunya, dari Syaikh Ali Hasan: Sedangkan
orang yang melakukan bid'ah, bisa jadi dia seorang mujtahid-sebagaimana telah dibicarakan-, maka orang yang berijtihad seperti
ini, meskipun salah, tidak bisa dikatakan sebagai ahli bid'ah. Sebaliknya, bisa jadi ia jahil (bodoh). Maka ia tidak bisa
dikatakan sebagai ahli bid'ah karena kejahilannya. Meskipun demikian dia tetap berdosa dikarenakan kesalahan dia meninggalkan
kewajiban menuntut ilmu, kecuali apabila Allah menghendaki. Dan bisa jadi juga ada sebab-sebab lain yang menghalangi seseorang
yang melakukan bid'ah untuk dikatakan sebagai ahli bid'ah. Berbeda dengan orang yang terus-menerus melakukan bid'ahnya setelah
nampak kebenaran olehnya, karena mengikuti nenek moyang, dan adat-istiadatnya. Maka orang seperti ini pantas dan tepat untuk
mendapatkan predikat sebagai ahli bid'ah, dikarenakan penolakannya dan pengingkarannya (lihat “Hanya Ada Satu Kebenaran”,
terbitan Darul Qolam)
Allah
berfirman:
Dan barang siapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti selain jalan orang-orang mu'min,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya dan Kami masukkan ia dalam neraka jahanam dan jahanam seburuk-buruk
tempat kembali (An Nisa: 115)
Dari berbagai sumber
Dikutip : Diskusi Milis Assunnah