Siapa Saja Mahram itu?
Ada beberapa pertanyaan yang masuk seputar permasalahan muhrim,
demikian para penanya menyebutnya, padahal yang mereka maksud adalah mahram. Perlu diluruskan bahwa muhrim dalam bahasa Arab
adalah muhrimun, mimnya di-dhammah yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul.
Sedangkan mahram bahasa Arabnya adalah mahramun, mimnya di-fathah. Mahram ini berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang
yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). (Di sisi lain lelaki ini) boleh melakukan safar (perjalanan)
bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dan seterusnya
dari hukum-hukum mahram. Mahram sendiri terbagi menjadi tiga kelompok, yakni mahram karena nasab (keturunan), mahram karena
penyusuan, dan mahram mushaharah (kekeluargaan kerena pernikahan). Kelompok pertama, yakni mahram karena keturunan, ada
tujuh golongan: 1. Ibu, nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita 2. Anak perempuan (putri),
cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita 3. Saudara perempuan sekandung, seayah atau
seibu 4. Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung,
seayah atau seibu 5. Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik
sekandung, seayah atau seibu 6. Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan
seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita 7. Putri saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu (keponakan),
cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
Mereka inilah yang dimaksudkan Allah
subhanahu wa ta'ala:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ
أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ
وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ
اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ "Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan…" (An-Nisa: 23) Kelompok kedua, juga berjumlah tujuh golongan, sama dengan
mahram yang telah disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan. Dua di antaranya telah disebutkan Allah
subhanahu wa ta'ala: وَأُمَّهَاتُكُمُ
الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ
وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ
الرَّضَاعَةِ "Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu
kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan." (An-Nisa 23) Ayat ini menunjukkan
bahwa seorang wanita yang menyusui seorang anak menjadi mahram bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan miliknya melainkan
milik suami yang telah menggaulinya sehingga memproduksi air susu. Ini menunjukkan secara tanbih bahwa suaminya menjadi mahram
bagi anak susuan tersebut . Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak, berarti termasuk anak kandung dari ibu susu,
anak kandung dari ayah susu, serta dua anak yang disusui oleh wanita yang sama. Maka ayat ini dan hadits yang marfu': يَحْرُمُ
مِنَ الرَّضَاعِ مَا
يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ "Apa
yang haram karena nasab maka itupun haram karena punyusuan." (Muttafaqun 'alaihi dari Ibnu 'Abbas), keduanya menunjukkan tersebarnya
hubungan mahram dari pihak ibu dan ayah susu sebagaimana tersebarnya pada kerabat (nasab). Maka ibu dari ibu dan bapak (orang
tua) susu misalnya, adalah mahram sebagai nenek karena susuan dan seterusnya ke atas sebagaimana pada nasab. Anak dari orang
tua susu adalah mahram sebagai saudara karena susuan, kemudian cucu dari orang tua susu adalah mahram sebagai anak saudara
(keponakan) karena susuan, dan seterusnya ke bawah. Saudara dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi karena susuan,
saudara ayah/ ibu dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi orang tua susu dan seterusnya ke atas. Adapun dari pihak
anak yang menyusu, maka hubungan mahram itu terbatas pada jalur anak keturunannya saja. Maka seluruh anak keturunan dia, berupa
anak, cucu dan seterusnya ke bawah adalah mahram bagi ayah dan ibu susunya. Hanya saja, berdasar pendapat yang paling kuat
(rajih), yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa'di, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikhuna (Muqbil)
rahimahumullahu, bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun,
berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala: وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ
حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
لِمَنْ أَرَادَ أَنْ
يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ "Para
ibu hendaklah menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya." (Al-Baqarah: 233)
Dan
Hadits 'Aisyah radhiallahu 'anha muttafaqun 'alaihi bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena
rasa lapar dan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa (no. hadits
2150) bahwa tidak mengharamkan suatu penyusuan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan. Dan
yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan. Setiap penyusuan bentuknya adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas)
lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu
sesaat lalu dihisap kembali. Adapun kelompok ketiga, jumlahnya 4 golongan, sebagai berikut: 1. Istri bapak (ibu tiri),
istri kakek dan seterusnya ke atas berdasarkan surat An-Nisa ayat 23. 2. Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah
berdasarkan An-Nisa: 23. 3. Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas berdasarkan An-Nisa: 23. 4. Anak perempuan istri
dari suami lain (rabibah) , cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke
bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
Nomor 1, 2 dan 3 hanya menjadi mahram dengan akad yang sah meskipun belum melakukan
jima' (hubungan suami istri). Adapun yang keempat maka dipersyaratkan bersama dengan akad yang sah dan harus terjadi jima',
dan tidak dipersyaratkan rabibah itu harus dalam asuhannya menurut pendapat yang paling rajih yaitu pendapat jumhur dan dipilih
oleh Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullahu. Dan mereka tetap sebagai mahram meskipun terjadi perceraian atau ditinggal
mati, maka istri bapak misalnya tetap sebagai mahram meskipun dicerai atau ditinggal mati. Dan Rabibah tetap merupakan mahram
meskipun ibunya telah meninggal atau diceraikan, dan seterusnya. Selain yang disebutkan di atas, maka bukan mahram. Jadi
boleh seseorang misalnya menikahi rabibah bapaknya atau menikahi saudara perempuan dari istri bapaknya dan seterusnya. Begitu
pula saudara perempuan istri (ipar) atau bibi istri, baik karena nasab maupun karena penyusuan maka bukan mahram, tidak boleh
safar berdua dengannya, berboncengan sepeda motor dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, berjabat tangan, dan seterusnya
dari hukum-hukum mahram tidak berlaku padanya. Akan tetapi tidak boleh menikahinya selama saudaranya atau keponakannya itu
masih sebagai istri hingga dicerai atau meninggal. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:
وَأَنْ
تَجْمَعُوْا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ "Dan
(haram atasmu) mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai istri (secara bersama-sama)." (An-Nisa: 23) Dan hadits Abu Hurairah
radhiallahu 'anhu muttafaqun 'alihi bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mengumpulkan seorang wanita dengan
bibinya sebagai istri secara bersama-sama. Wallahu a'lam bish-shawab. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa'di, Syarhul
Mumti', 5/168-210)
Copyright © 2004 Asysyariah.com.. All rights reserved
|