As-Sunnah/Al-Hadits
1. Dasar pengertian. Secara
etimologis hadist bisa berarti: a) Baru, seperti kalimat: "Allah qadim mustahil hadist". b) Dekat, seperti: "Haditsul
ahdi bil Islam". c) Khabar, seperti: "Falya'tu bi haditsin mitslihi". Dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti: Segala
perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi Muhammad saw (Af'al, Aqwal, dan Taqrir). Pengertian hadits sebagaimana tersebut di
atas adalah identik dengan sunnah, yang secara etimologis berarti jalan atau tradisi, sebagaimana dalam al-Qur'an: "Sunnata
man qad arsalna" (al-Israa:77). Juga dapat berarti: - UU atau peraturan yang tetap belaku; - Cara yang diadakan; -
Jalan yang telah dijalani; Ada yang berpendapat antara sunnah dan hadits tersebut adalah berbeda. Akan tetapi dalam kebiasaan
hukum Islam antara hadits dan sunnah tersebut hanyalah berbeda dalam segi penggunaannya saja, tidak dalam isi dan tujuannya.
2. As-Sunnah sebagai sumber
nilai. Sunnah adalah sumber
hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah al-Qur'an. Bagi mereka yang telah beriman kepada al-Qur'an sebagai
sumber hukum, maka secara otomatis harus percaya bahwa sunnah sebagai sumber Islam juga. Ayat-ayat al-Qur'an cukup banyak
untuk dijadikan alasan yang pasti tentang hal ini, seperti: a) Setiap Mu'min harus percaya kepada Allah dan Rasul-Nya (al-Anfal:20,
Muhammad:33, An-Nisa':59, Ali
'Imran:32, al-Mujadalah:13, an-Nur:54, al-Ma'ida:92). b) Kepatuhan kepada Rasul berarti patuh
dan cinta kepada Allah (an-Nisa':80, Ali 'Imran:31). c) Orang-orang yang menyalahi sunnah akan mendapatkan
siksa (al-Anfal:13, al-Mujadalah:5, an-Nisa':115). d) Berhukum terhadap sunnah adalah tanda orang
yang beriman (an-Nisa':65). Kemudian perhatikan ayat-ayat: an-Nur:52, al-Hasyr:4, al-Mujadalah:20,
an-Nisa':64 dan 69, al-Ahzab:36 dan 71, al-Hujurat:1, al-Hasyr:7, dan sebagainya.
Apabila sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam hal: cara
shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji, dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat al-Qur'an dalam hal tersebut hanya berbicara
secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan
kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, muhtamal, dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan
sunnah untuk menjelaskannnya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio sudah
barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subjektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
3. Hubungan as-Sunnah dan
al-Qur'an. Dalam hubungan
dengan al-Qur'an , maka as-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, penjelas atas ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan
tentang fungsi as-Sunnah dalam hubungan dengan al-Qur'an itu adalah sebagai berikut: a) Bayan Tafsir, yaitu menerangkan
ayat-ayat yang sangat umum mujmal dan musytarak. Seperti hadits: "Shallukama ra'aitumuni ushalli" (shalatlah kamu sebagaimana
kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran dari ayat al-Qur'an yang umum, yaitu: "Aqimush-shalah" (kerjakan shalat).
Demikian pula dengan hadits: "khudzu 'annimanasikakum" (ambilah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsiran ayat al-Qur'an "Waatimmulhajja"
(dan sempurnakan hajimu). b) Bayan Taqrir, yaitu as-Sunnah yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur'an,
seperti hadits yang berbunyi: "Shaumul liru'yatihi wafthiruliru'yatihi" (berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena
melihatnya) adalah memperkokoh ayat al-Qur'an dalam surat al-Baqarah:185. c) Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud
dan tujuan sesuatu ayat al-Qu r'an, seperti pernyataan Nabi: "Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu
yang sudah dizakati" adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat al-Qur'an dalam surat at-Taubah:34 yang berbunyi sebagai
berikut: "Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak yang kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah maka gembirakanlah
mereka dengan azab yang sangat pedih". Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan
perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
4.Perbedaan antara al-Qur'an dan al-Hadits
sebagai sumber hukum. Sekalipun
al-Qur'an dan as-Sunnah/al-Hadits sebagai sumber hukum Islam namun di antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup
prinsipil. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain: a) al-Qur'an nilai kebenarannya adalah qath'i (absolut), sedangkan
al-Hadits adalah zhanni (kecuali hadits mutawatir). b) Seluruh ayat al-Qur'an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup, tetapi
tidak semua hadits kita jadikan sebagai pedoman hidup. Sebab di samping ada sunnah yang tasyri' ada juga sunnah yang ghairu
tasyri'. Di samping ada hadits yang shahih (kuat) ada pula hadits yang dha'if (lemah),dan seterusnya. c) Al-Qur'an sudah
pasti otentik lafazh dan maknanya, sedangkan hadits tidak. d) Apabila al-Qur'an berbicara tentang masalah-masalah aqidah
atau hal-hal yang ghaib maka setiap Muslim wajib mengimaninya, tetapi tidak demikian apabila masalah-masalah tersebut diungkapkan
oleh hadits (ada yang wajib diimani dan ada yang tidak).
5. Sejarah singkat perkembangan al-Hadits. Para ulama membagi perkembangan hadits itu menjadi 7 periode,
yaitu: a) Masa wahyu dan pembentukan hukum (pada zaman Rasul: 13 SH-11 H). b) Masa pembatasan riwayat (masa khulafaur
rasyidin: 12-40 H). c) Masa pencarian hadits (pada masa generasi tabi'in dan sahabat-sahabat muda: 41 H - akhir abad I
H). d) Masa pembukuan hadits (permulaan abad II H). e) Masa penyaringan dan seleksi ketat (awal abad III H) sampai selesai. f)
Masa penyusunan kitab-kitab koleksi (awal abad IV H sampai jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H). g) Masa pembuatan kitab
syarah hadits, kitab-kitab tahrij dan penyusunan kitab-kitab koleksi yang lebih umum (656 H dan seterusnya).
Pada zaman Rasulullah hadits tidak dituliskan sebab: a)
Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu yang diizinkan beliau sebagai catatan pribadi. b)
Rasulullah berada di tengah-tengah ummat Islam sehingga dirasa tidak sangat perlu untuk dituliskan pada waktu itu. c) Kemampuan
tulis baca di kalangan sahabat sangat terbatas. d) Ummat Islam sedang dikonsentrasikan kepada al-Qur'an. e) Kesibukan-kesibukan
ummat Islam yang luar biasa dalam menghadapi perjuangan da'wah yang sangat penting. Menurut catatan sejarah, ada sahabat
yang mencatat hadits Nabi, antara lain: 'Ali dan 'Abdullah bin 'Amr. Pada zaman-zaman berikutnya pun ternyata al-Hadits belum
sempat dibukukan karena sebab-sebab tertentu. Baru pada zaman 'Umar bin 'Abdul -'Azis, khalifah ke-8 dari Dinasti Bani Umayyah,
(99-101 H) timbul inisiatif secara resmi untuk menulis dan membukukan hadits tersebut. Sebelumnya hadits-hadits tersebut hanya
disampaikan melalui hafalan-hafalan para sahabat yang kebetulan hidup lama setelah Nabi wafat dan pada saat generasi tabi'in
mencari hadits-hadits itu. Di antara sahabat-sahabat itu ialah: - Abu Hurairah, meriwayatkan hadits sekitar 5374 buah; -
'Abdullah bin 'Umar bin Khathtab, meriwayatkan sekitar 2630 buah; - Anas bin Malik, meriwayatkan sebanyak 2286 buah; -
'Abdullah bin 'Abbas, meriwayatkan sebanyak 1160; - 'Aisyah Ummul Mu'minin, meriwayatkan sebanyak 2210 buah; - Jabir
bin Abdillah, meriwayatkan sebanyak 1540 buah; - Abu Sa'id al-Hudri meriwayatkan 1170 buah.
Kenapa kemudian Hadits dikodifikasikan. Kodifikasi
hadits itu justru dilatarbelakangi oleh adanya usaha-usaha untuk membuat dan menyebarluaskan hadits-hadits palsu di kalangan
ummat Islam, baik yang dibuat oleh ummat Islam sendiri karena maksud-maksud tertentu, maupun oleh orang-orang luar yang sengaja
untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dan sampai saat ini ternyata masih banyak hadits-hadits palsu itu bertebaran dalam beberapa
literatur kaum Muslimin. Di samping itu tidak sedikit pula kesalahan-kesalahan yang berkembang di kalangan masyarakat Islam,
berupa anggapan terhadap pepatah-pepatah dalam bahasa Arab yang dinilai mereka sebagai hadits. Walaupun ditinjau dari isi
materinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam, tetapi kita tetap tidak boleh mengatakan bahwa sesuatu
ucapan itu sebagai ucapan Rasulullah kalau memang bukan sabda Rasulullah. Sebab sabda Rasulullah: "Barang siapa berdusta atas
namaku maka siap-siap saja tempatnya di neraka." Alhamdulillah, berkat jasa-jasa dari ulama-ulama yang saleh, hadits-hadits
itu kemudian sempat dibukukan dalam berbagai macam bentuk dalam berbagai macam buku serta diadakan seleksi ketat oleh mereka
sampai melahirkan satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut ilmu Musthalah Hadits. Walaupun usaha mereka belum dapat membendung
seluruh usaha-usaha penyebaran hadits-hadits palsu dan lemah, namun mereka telah melahirkan norma-norma dan pedoman-pedoman
khusus untuk mengadakan seleksi sebaik-baiknya yang dituangkan dalam ilmu musthalah hadits tersebut. Sehingga dengan pedoman
itu ummat Islam sekarang pun dapat mengadakan seleksi-seleksi seperlunya. Nama-nama Ishak bin Rahawaih, Imam Bukhari, Imam
Muslim, ar-Rama al-Hurmudzi, al-Madini, Ibnu Shalah, dan masih banyak lagi ulama-ulama saleh lainnya adalah rentetan nama-nama
yang besar jasanya dalam usaha penyelamatan hadits-hadits dari kepalsuan-kepalsuan sehingga lahirlah ilmu tersebut. Untuk
memberikan gambaran perkembangan hadits dapat kita perhatikan perkembangan kelahiran kitab-kitab hadits dan ilmu-ilmu hadits.
6. Perkembangan kitab-kitab
Hadits. a) Cara penyusunan kitab-kitab hadits para ulama
menempuh cara-cara antara lain: 1.
Penyusunan berdasarkan bab-bab fiqiyah, mengumpulkan hadits-hadits yang berhubungan dengan shalat
umpamanya dalam babush-shalah, hadits-hadits yang berhubungan dengan masalah wudhu dalam
babul-wudhu, dan sebagainya. Cara ini terbagi dua macam: i) Dengan
mengkhususkan hadits-hadits yang shahih saja, seperti yang ditempuh oleh Imam Bukhari dan
Muslim. ii) Dengan tidak mengkhususkan hadits-hadits yang shahih (asal
tidak munkar), seperti yang ditempuh oleh Abu
dawud, Tarmidzi, Nasa'i, dan sebagainya. 2. Penyusunan berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkannya.
Cara ini terbagi empat macam: i)
Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan abjad. ii) Dengan menyusun nama-nama
sahabat berdasarkan nama qabilah. Mereka dahulukan nama Banu Hasyim,
kemudian qabilah yang terdekat dengan Rasulullah. iii) Dengan menyusun nama-nama sahabat
berdasarkan kronologik masuk Islamnya. Mereka dahulukan sahabat-sahabat
yang termasuk assabiqunalawwalun kemudian ahlul badr, kemudian ahlul Hudaibiyah, kemudian yang turut hijrah
dan seterusnya. iv) Dengan menyusun sebagaimana yang ketiga dan dibagi-bagi berdasarkan awanir,
nawahi, ikhbar, ibadat, dan af'alun nabi. Seperti yang ditempuh
oleh Ibnu Hibban dalam shahehnya. 3. Penyusunan berdasarkan abjad-abjad huruf dari awal matan hadits,
seperti yang ditulis oleh Abu Mansur Abdailani dalam Musnadul Firdausi
dan oleh as-Suyutidalam Jami'ush-Shagir. b) Kitab-kitab Hadits pada Abad ke-1 H. 1. Ash-Shahifah oleh Imam 'Ali bin
Abi Thalib. 2. Ash-Shadiqah oleh Imam 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash. 3.
Daftar oleh Imam Muhammad bin Muslim (50-124 H). 4. Kutub oleh Imam Abu Bakar bin Hazmin. Keempat-empatnya
tidak sampai ke tangan kita, jadi hanya berdasarkan keterangan sejarah saja yang dapat dipertanggungjawabkan. c) Kitab-kitab Hadits pada Abad ke-2 H. 1. Al-Musnad oleh Imam Abu Hanifah
an-Nu'man (wafat150 H). 2. Al-Muwaththa oleh Imam Malik Anas (93-179 H). 3.
Al-Musnad oleh Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i (150-204 H). 4. Mukhtaliful Hadits oleh Muh. bin
Idris Asy-Syafi'i (150-204 H). 5. Al-Musnad oleh imam 'Ali Ridha al-Kadzim (148-203 H). 6.
Al-Jami' oleh Abdulrazaq al-Hamam ash-Shan'ani (wafat 311 H). 7. Mushannaf oleh Imam Syu'bah bin Jajaj
(80-180 H). 8. Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa'ud (94-175 H). 9. Mushannaf
oleh Imam Sufyan bin 'Uyaina (107-1990 H). 10. As-Sunnah oleh Imam Abdurrahman bin 'Amr al-Auza'i
(wafat 157 H). 11. As-Sunnah oleh Imam Abl. bin Zubair b. Isa al-Asadi. Seluruh kitab-kitab
hadits yang ada pada abad ini tidak sampai kepada kita kecuali 5 buah saja, yaitu nomor 1 sampai dengan nomor 5. d) Kitab-kitab Hadits pada Abad ke-3 H. 1. Ash-Shahih oleh Imam Muh. bin Ismail
al-Bukhari (194-256 H). 2. Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj (204-261 H). 3.
As-Sunan oleh Imam Abu Isa At-Tirmidzi (209-279 H). 4. As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin
Al-Asy'at (202-275 H). 5. As-Sunan oleh Imam Ahmad bin Sya'ab an-Nasai (215-303 H). 6.
As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad-Damiri (181-255 H). 7. As-Sunan oleh
Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah (209-273 H). 8. Al-Musnazd oleh Imam Ahmad bin Hambal
(164-241 H). 9. Al-Muntaqa Al-Ahkam oleh Imam Abd. Hamid bin Jarud (wafat 307 H). 10.
Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah (wafat 235 H). 11. Al-Kitab oleh Muhammad Sa'id bin Manshur
(wafat 277 H). 12. Al-Mushannaf oleh Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 277 H). 13.
Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari (wafat 310 H). 14. Al-Musnadul Kabir oleh
Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi (wafat 276 H). 15. Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih (wafat
237 H). 16. Al-Musnad oleh Imam 'Ubaidilah bin Musa (wafat 213 H). 17.
Al-Musnad oleh Imam Abdibni ibn Humaid (wafat 249 H). 18. Al-Musnad oleh Imam Abu Ya'la (wafat307
H). 19. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi Usamah al-Harits Ibn Muhammad at-Tamimi (wafat 282 H). 20.
Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi 'Ashim Ahmad bin Amr asy-Syaibani (wafat 287 H). 21. Al-Musnad oleh
Imam Ibnu Abi 'Amrin Muhammad bin Yahya Aladani (wafat 243 H). 22. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim
bin Al-Askari (wafat 282 H). 23. Al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu'aib an-Nasai (wafat 303
H). 24. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail at-Tusi al-Anbari (wafat 280 H). 25.
Al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin (wafat 228 H). Dan masih banyak sekali musnad yang ditulis para ulama abad
ini. e) Kitab-kitab Hadits pada Abad ke-4 H. 1. Al-Mu'jam Kabir, ash-shaqir dan
al-Ausath oleh Imam Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani (wafat 360 H). 2.
As-Sunan oleh Imam Daruqutni (wafat 385 H). 3. Ash-Shahih oleh Imam Abu Hatim Muhammad bin Habban
(wafat 354 H). 4. Ash-Shahih oleh Imam Abu 'Awanah Ya'qub bin Ishaq (wafat 316 H). 5.
Ash-Shahih oleh Imam Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq (wafat 311 H). 6. Al-Muntaqa oleh Imam Ibnu
Saqni Sa'id bin 'Usman al-Baqhdadi (wafat 353 H). 7. Al-Muntaqa oleh Imam Imam Qasim bin Ashbagh
(wafat 340 H). 8. Al-Mushannaf oleh Imam Thahawi (wafat 321 H). 9. Al-Musnad
oleh Imam Ibnu Jami Muhammad bin Ahmad (wafat 402 H). 10. Al-Musnad oleh Imam Muhammad bin Ishaq
(wafat 313 H). 11. Al-Musnad oleh Imam Hawarizn (wafat 425 H). 12. Al-Musnad
oleh Imam Ibnu Natsir ar-Razi (wafat 385 H). 13. Al-Mustadrak 'ala -Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah
Muhammad bin Abdullah al-Hakim an-Natsaburi (321-405 H). f) Tingkatan Kitab Hadits. Menurut penyelidikan para ulama ahli hadits secara garis besar tingkatan
kitab-kitab hadits tersebut bisa dibagi sebagai berikut: 1. Kitab Hadits ash-Shahih yaitu kitab-kitab hadits yang telah
diusahakan para penulisnya untuk hanya menghimpun hadits-hadits yang shahih saja. 2. Kitab-kitab Sunan yaitu kitab-kitab
hadits yang tidak sampai kepada derajat munkar. Walaupun mereka memasukkan juga hadits-hadits yang dha'if (yang tidak sampai
kepada munkar). Dan sebagian mereka menjelaskan kedha'ifannya. 3. Kitab-kitab Musnad yaitu kitab-kitab hadits yang jumlahnya
sangat banyak sekali. Para penghimpunnya memasukkan hadits-hadits tersebut tanpa penyaringan yang seksama dan teliti. Oleh
karena itu di dalamnya bercampur baur di antara hadits-hadits yang shahih, yang dha'if, dan yang lebih rendah lagi. Adapun
kitab-kitab lain adalah disejajarkan dengan al-Musnad ini. Di antara kitab-kitab hadits yang ada maka Shahih Bukhari-lah
kitab hadits yang terbaik dan menjadi sumber kedua setelah al-Qur'an, dan kemudian menyusul hadits Muslim. Ada para ulama
hadits yang meneliti kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, tetapi ternyata kurang dapat dipertanggungjawabkan, walaupun
dalam cara penyusunan hadits-hadits, kitab Muslim lebih baik daripada kitab Bukhari, sedang syarat-syarat hadits yang digunakan
Bukhari ternyata tetap lebih ketat dan lebih teliti daripada apa yang ditempuh Muslim. Seperti tentang syarat yang diharuskan
Bukhari berupa keharusan kenal baik antara seorang penerima dan penyampai hadits, di mana bagi Muslim hanya cukup dengan muttashil
(bersambung) saja. g) Kitab-kitab Shahih selain Bukhari Muslim. Ada beberapa ulama yang telah berusaha menghimpun hadits-hadits
shahih sebagaimana yang ditempuh Bukhari dan Muslim, akan tetapi menurut penyelidikan ahli-ahli hadits ternyata kitab-kitab
mereka tidak sampai kepada tingkat kualitas kitab-kitab Bukhari dan Muslim. Para ulama yang menyusun kitab shahih tersebut
ialah: 1. Ibnu Huzaimah dalam kitab ash-Shahih. 2. Abu 'Awanah dalam
kitab ash-Shahih. 3. Ibnu Hibban dalam kitab at-Taqsim Walarbu. 4. Al-Hakim
dalam kitab al-Mustadrak. 5. Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa. 6. Ibnu
Abdil Wahid al-Maqdisi dalam kitab al-Mukhtarah. Menurut sebagian besar para ulama hadits, di antara kitab-kitab hadits
ada 7 (tujuh) kitab hadits yang dinilai terbaik yaitu: 1. Ash-Shahih Bukhari.
2. Ash-Shahih Muslim. 3. Ash-Sunan Abu Dawud. 4. As-Sunan Nasa'i.
5. As-Sunan Tarmidzi. 6. As-Sunan Ibnu Majah. 7. Al-Musnad Imam Ahmad.
7. Perkembangan Ilmu Hadits. Ilmu hadits yang kemudian populer dengan ilmu Mushthalah hadits
adalah salah satu cabang disiplin ilmu yang semula disusun oleh Abu Muhammad ar-Rama al-Hurmuzi (wafat 260 H). Walaupun norma-norma
umumnya telah timbul sejak adanya usaha pengumpulan dan penyeleksian hadits oleh masing-masing penulis hadits. Secara garis
besarnya ilmu hadits ini terbagi menjadi ada dua macam yaitu Ilmu hadits riwayatan dan dirayatan. Ilmu hadits dirayatan membahas
hadits dari segi diterima atau tidaknya, sedang ilmu hadits riwayatan membahas materi hadits itu sendiri. Dalam perkembangan
berikutnya telah lahir berbagai cabang ilmu hadits, seperti: a) Ilmu rijalul hadits, ilmu yang membahas mereka yang berperan
dalam periwayatan hadits. b) Ilmu jarh wat-ta'dil, ilmu yang membahas tentang jujur dan tidaknya pembawa-pembawa hadits. c)
Ilmu fanilmubhamat, ilmu yang membahas tentang orang yang tidak nampak peranannya dalam periwayatan suatu hadits. d) Ilmu
tashif wat-tahrif, ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang berubah titik atau bentuknya. e) Ilmu 'ilalil hadits,
ilmu yang membahas tentang penyakit-penyakit yang tidak nampak dalam suatu hadits yang dapat menjatuhkan kualitas suatu hadits
tersebut. f) Ilmu gharibil hadits, ilmu yang membahas kalimat-kalimat yang sukar dalam hadits. g) Ilmu asbabi wurudil
hadits, ilmu yang membahas tentang sebab timbulnya suatu hadits. h) Ilmu talfiqil hadits, ilmu yang membahas tentang cara
mengumpulkan hadits-hadits yang nampaknya bertentangan. i) dan lain-lain.
8. Seleksi Hadits. Dengan menggunakan berbagai macam ilmu hadits itu, maka timbullah
berbagai macam nama hadits, yang disepakati oleh para ulama, yang sekaligus dapat menunjukkan jenis, sifat, bentuk dan kualitas
dari sesuatu hadits. Yang paling penting untuk diketahui adalah pembagian hadits itu atas dasar kualitasnya yaitu: a)
Maqbul (dapat diterima sebagai pedoman) yang mencakup hadits shahih dan hadits hasan. b) Mardud
(tidak dapat diterima sebagai pedoman) yang mencakup hadits dha'if (lemah) dan maudhu'
(palsu). Usaha seleksi itu diarahkan pada tiga unsur hadits, yaitu: a. Matan (materi hadits). Suatu materi hadits dapat
dinilai baik apabila materi hadits itu tidak bertentangan dengan al-Qur'an atau hadits lain yang lebih kuat, realita, fakta
sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Untuk sekedar contoh dapat kita perhatikan hadits-hadits yang dinilai baik
tapi bertentangan isi materinya dengan al-Qur'an: 1) Hadits yang mengatakan bahwa "Seorang mayat akan disiksa Tuhan karena
ratap tangis ahli warisnya", adalah bertentangan dengan firman Allah "Wala taziru waziratun wizra ukhra" yang artinya "Dan
seseorang tidak akan memikul dosa orang lain" (al-An'am:164). 2) Hadits yang mengatakan "Barangsiapa yang meninggal
dunia dalam keadaan meninggalkan hutang puasa, maka hendaklah dipuasakan oleh walinya", adalah bertentangan dengan firman
Allah " wa allaisa lil insani illa ma-sa'a", yang artinya "dan seseorang tidak akan mendapat pahala apa-apa kecuali dari apa
yang dikerjakan dia sendiri" (an-Najm: 39). b. Sanad (persambungan antara pembawa dan penerima hadits). Suatu
persambungan hadits dapat dinilai segi baik, apabila antara pembawa dan penerima hadits benar-benar bertemu bahkan dalm batas-batas
berguru. Tidak boleh ada orang lain yang berperanan dalam membawakan hadits tapi tidak nampak dalam susunan pembawa hadits
itu. Apabila ada satu kaitan yang diragukan antara pembawa dan penerima hadits, maka hadits itu tidak dapat dimasukkan dalam
kriteria hadits yang maqbul. c. Rawi (orang-orang yang membawakan hadits). Seseorang yang dapat diterima haditsnya ialah
yang memenuhi syarat-syarat: 1. 'Adil, yaitu orang Islam yang baliqh dan jujur, tidak pernah berdusta dan tidak membiasakan
dosa. 2. Hafizh, yaitu kuat hafalannya atau mempunyai catatan pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan
kriteria-kriteria seleksi tersebut, maka jumhur (mayoritas) ulama berpendirian bahwa Kitab ash-Shahih Bukhari dan Kitab ash-Shahih
Muslim dapat dijamin keshahihannya ditinjau dari segi sanad dan rawi. Sedang dari segi matan kita dapat memberikan seleksinya
dengan pedoman-pedoman di atas. Beberapa langkah praktis dalam usaha seleksi hadits, apakah suatu hadits itu maqbul atau tidak
adalah: i. Perhatikan matannya sesuai dengan norma di atas. ii. Perhatikan
kitab pengambilannya (rawahu: diriwayatkan atau ahrajahu: dikeluarkan). Apabila
matannya baik diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, maka dapat dinilai hadits itu shahih atau paling
rendah hasan. Dengan demikian maka dapat dikatakan shahih apabila ujung hadits itu oleh para ulama diberi kata-kata: a.
Diriwayatkan / dikeluarkan oleh jama'ah. b. Diriwayatkan / dikeluarkan
oleh imam 7. c. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh imam 6. d.
Diriwayatkan / dikeluarkan oleh dua syaikh (Bukhari dan Muslim). e. Disepakati
oleh Bukhari dan Muslim (Muttafaqun 'alaihi). f. Diriwayatkan oleh Bukhari
atau oleh Muslim saja. g. Diriwatkan oleh ... dan disyahkan oleh Bukhari
dan Muslim, Bukhari atau Muslim. h. Diriwayatkan oleh ... dengan syarat
Bukhari atau Muslim. 3. Apabila suatu hadits sudah baik materinya tetapi tidak termasuk dalam persyaratan di atas maka
hendaknya diperhatikan komentar-komentar ulama terhadap hadits itu seperti: - Komentar baik: Hadits Mutawir, quwat, hadits
shahih, hadits jayyid, hadits baik, hadits pilihan dan sebagainya. - Komentar buruk: Hadits
putus, hadits lemah, hadits ada illatnya, mauquf, maqthu, mudallas, munkar, munqathi, muallak,
dan lain sebagainya. Dalam hal ini kita akan menemukan sesuatu hadits yang mendapat penilaian berbeda / bertentangan antara
seorang ulama dan lainnya. Maka langkah kita adalah dahulukan yang mencela sebelum yang memuji ("Aljarhu muqaddamun'alat ta'dil").
Hal ini apabila dinilai oleh sama-sama ahli hadits. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak semua komentar
ulama tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Artinya suatu hadits yang dikatakan oleh para ulama shahih, kadang-kadang setelah
diteliti kembali ternyata tidak demikian. Contohnya dalam hadits kita akan menemukan kata-kata "dan dishahihkan oleh Imam
Hakim, oleh Ibnu Huzaimah" dan lain-lain, tetapi ternyata hadits tersebut tidak shahih (belum tentu shahih). 4. Apabila
langkah-langkah di atas tidak mungkin ditempuh atau belum memberikan kepastian tentang keshahihan suatu hadits, maka hendaknya
digunakan norma-norma umum seleksi, seperti yang diterangkan di atas, yaitu menyelidiki langsung sejarah para rawi dan lain-lain,
dan untuk ini telah disusun oleh para ulama terdahulu sejumlah buku-buku yang membahas tentang sejarah dan keadaan para hadits,
seperti yang pernah dilakukan oleh al-Bukhari dalam bukunya adh-Dhu'afa (kumpulan orang-orang yang lemah haditsnya).
9. Masalah hadits-hadits
palsu (Maudhu'). Perpecahan
di bidang politik di kalangan ummat Islam yang memuncak dengan peristiwa terbunuhnya 'Utsman bin 'Affan, Khalifah ke-3 dari
khulafa'ur rasyidin, dan bentrok senjata antara kelompok pendukung 'Ali bin Abi Thalib dan pendukung Mu'awiyah bin Abu Sufyan,
telah mempunyai pengaruh yang cukup besar ke arah timbulnya usaha-usaha sebagian ummat Islam membuat hadits-hadits palsu guna
kepentingan politik. Golongan Syi'ah sebagai pendukung kepemimpinan 'Ali dan keturunannya yang kemudian tersingkir dari
kekuasaan politik waktu itu, telah terlibat dalam penyajian hadits-hadits palsu untuk membela pendirian politiknya. Golongan
ini termasuk golongan yang paling pertama dalam usaha membuat hadits-hadits palsu yang kemudian disusul oleh banyak kelompok
ummat Islam yang tidak sadar akan bahaya usaha-usaha demikian. Golongan Rafidhah (salah satu sekte Syi'ah) dinilai oleh
sejarah sebagai golongan yang paling banyak membuat hadits-hadits palsu itu. Di antara hadits-hadits palsu yang membahayakan
bagi kemurnian ajaran Islam, terutama yang dibuat oleh orang-orang jahat yang sengaja untuk mengotorkan ajaran Islam dan menyesatkan
ummatnya, seperti orang Yahudi, orang Zindik, dan lain sebagainya. Kemudian yang kedua yang dibuat oleh ummat Islam sendiri
yang maksudnya baik seperti untuk mendorong ummat Islam beribadah lebih rajin dan lain sebagainya, tetapi lupa akan dasar
yang lebih pokok dan lebih prinsipil dalam agama. Dengan demikian motif-motif hadits palsu itu dapat kita simpulkan antara
lain sebagai berikut: a) karena politik dan kepemimpinannya; b)
karena fanatisme golongan dan bahasa; c) karena kejahatan untuk sengaja
mengotori ajaran Islam; d) karena dorongan untuk berbuat baik tetapi bodoh
tentang agama; e) karena kesehatan-kesehatan sejarah dan lain-lain; f)
karena soal-soal fiqh dan pendapat dalam bidang ilmu kalam; g) dan lain-lain. Keadaan
demikian ini telah mendorong para ulama saleh untuk tampil ke depan berusaha mengadakan seleksi dan koreksi serta menyusun
norma-norma dalam memilih hadits-hadits yang baik dan yang palsu. Mereka sempat mengumpulkan sejumlah nama-nama orang yang
baik dan sejumlah nama-nama orang yang biasa membuat hadits palsu. Mereka menyusun kitab-kitab khusus yang membahas hadits-hadits
yang baik. Untuk mengetahui bahwa suatu hadits itu adalah hadits palsu, kita dapat mengenal beberapa ciri-cirinya antara lain: i) Pengakuan
pembuatnya. Di dalam catatan sejarah sering terjadi para pembuat hadits palsu berterus-terang
atas perbuatan jahatnya, baik karena terpaksa maupun karena sadar dan taubat. Abu Ismah Nuh bin
Maryam (bergelar Nuh al-Jami) telah berterus terang mengakui perbuatannya dalam membuat hadits-hadits
palsu yang berhubungan dengan keutamaan-keutamaan surat al-Qur'an. Ia sandarkan hadits-haditsnya
kepada Ibnu 'Abbas. Maisarah bin 'Abdi Rabbih al-Farisi, juga telah berterus terang mengakui perbuatannya
membuat hadits- hadits palsu tentang keutamaan al-Qur'an dan keutamaan 'Ali bin Abi Thalib. Dalam
hal ini memang perlu kita catat bahwa tidak semua pengakuan tersebut lantas harus secara otomatis
kita percayai. Sebab mungkin saja pengakuannya itu justru adalah dusta dan palsu. ii) Perawinya
sudah terkenal sebagai pembuat hadits-hadits maudhu', dan hadits atau keterangan lain yang
baik tidak ada sama sekali (dalam soal yang sama). iii) Isi atau materinya bertentangan dengan akal pikiran yang
sehat. Sebagai contoh hadits-hadits sebagai berikut: "Sesungguhnya perahu Nuh bertawaf tujuh kali mengelilingi ka'bah dan shalat di makam
Ibrahim dua raka'at", dan "Sesungguhnya tatkala Allah menciptakan hyryf maka bersujudlah
ba dan tegaklah alif'." iv) Isinya bertentangan dengan ketentuan agama, 'aqidah Islam. Sebagai contoh: "Aku
adalah penghabisan nabi-nabi. Tidak ada nabi sesudahku kecuali apabila dikehendaki Allah", dan
"Allah menciptakan malaikat dari rambut, tangan, dan dada". v) Isinya bertentangan
dengan ketentuan agama yang sudah qath'i seperti hadits-hadits: "Anak zina tidak masuk sorga
hingga tujuh turunan"; "Barangsiapa yang memperoleh anak, dan kemudian diberi nama Muhammad, maka dia dan
anaknya akan masuk sorga". vi) Isinya mengandung obral pahala dengan amal yang sangat sederhana, seperti hadits-hadits:
"Barangsiapa membaca La ilaha illallah
maka Allah akan menjadikan baginya seekor burung yang mempunyai tujuh puluh lidah. Pada tiap-tiap
lidah tujuh puluh ribu bahasa yang memohon ampun kepada Allah untuk orang tersebut"; "Barangsiapa menafkahkan satu tali untuk mauludku maka aku
akan menjadi penolongnya di Yaumil Qiyamah". vii) Isinya mengandung kultus-kultus individu.
Seperti hadits-hadits: "Di tengah ummatku kelak akan ada orang diberi nama Abu Hanifah an-Nu'man, ia adalah pelita
ummatku"; "Abbas itu adalah wasiatku dan ahli warisku". viii) Isinya bertentangan dengan
fakta sejarah. Seperti hadits-hadits yang menerangkan bahwa nabi pernah diberi semacam buah
dari sorga pada saat mi'raj. Setelah kembali dari mi'raj kemudian bergaul dengan Khadijah dan
lahirlah Fatimah dan seterusnya. Hadits ini bertentangan dengan fakta sejarah sebab mi'raj itu
terjadi setelah wafatnya Khadijah dan setelah Fatimah lahir.
10. Contoh-contoh Hadits
Maudhu' berdasarkan motifnya. a)
Motif politik dan kepemimpinan. "Apabila kamu melihat Mu'awiyah di atas mimbarku, maka bunuhlah"; "Orang
yang berkepercayaan hanyalah tiga. Aku, Jibril, dan Mu'awwiyah". b) Motif zindik (untuk mengotorkan agama Islam). "Melihat
muka yang cantik adalah ibadah"; "Rasulullah ditanya dari apakah Tuhan kita itu? Jawabnya tuhan itu dari air yang mengalir, bukan dari
tanah dan bukan dari langit. Tuhan menciptakan kuda dan kemudian dijalankannya sampai berkeringat.
Maka Allah menciptakan dirinya dari keringat tersebut." c) Motif ta'assub dan fanatisme. "Sesungguhnya Allah apabila marah, maka menurunkan wahyu
dalam bahasa Arab. Dan apabila tidak marah menurunkannya dalam bahasa Parsi". "Di kalangan ummatku akan ada seorang yang bernama Abu Hanifah
an-Nu'man. Ia adalah pelita ummatku"; "Di kalangan ummatku akan ada seorang yang diberi nama Muhammad bin Idris.
Ia adalah yang menyesatkan ummatku lebih dari pada Iblis". d) Motif faham-faham fiqh. "Barangsiapa
mengangkat tangannya di dalam shalat maka tidak sah shalatnya"; "Berkumur dan mengisap air bagi
junub tiga kali adalah qajib"; "Jibril mengimamiku di depan ka'bah dan mengeraskan bacaan bismillah". e)
Motif senang kepada kebaikan tapi bodoh tentang agama. "Barangsiapa menafkahkan satu tali
untuk mauludku maka aku akan menjadi penolongnya di Yaumil Qiyamah". Seperti
hadits-hadits tentang fadhilah surat-surat al-Qur'an, obral pahala dan sebagainya. f) Motif penjilatan kepada pemimpin. "Ghiyas bin Ibrahim an-Nakha'i al-Kufi pernah masuk ke rumah
mahdi (salah seorang penguasa) yang senang sekali kepada burung merpati. Salah seorang berkata
kepadanya, coba terangkan kepada amirul mukminin tentang suatu hadits, maka berkatalah Ghiyas
'Tidak ada taruhan melainkan pada anak panah, atau unta atau kuda, atau burung'."
11. Persoalan-persoalan
yang ditetapkan oleh hadits-hadits maudhu'. Untuk menjelaskan persoalan-persoalan tersebut di sini pada kutipan
uraian ustadz Abdul Qadir Hassan dalam buku Ilmu Hadits, juz 2. 1) Hadits yang menyuruh orang sembahyang
pada malam Jum'at 12 raka'at dengan bacaan surat al-Ikhlas 10 kali. 2)
Hadits yang menyuruh orang senbahyang pada malam jum'at 2 raka'at dengan bacaan surat Zalzalah 15
kali (ada juga yang menerangkan 50 kali). 3) Hadits-hadits sembahyang pada hari Jum'at dua raka'at,
empat raka'at, dan duabelas raka'at. 4) Hadits-hadits sebelum sembahyang Jum'at, ada sembahyang
4 raka'at dengan bacaan al-Ikhlas 50 kali. 5) Hadits-hadits sembahyang asyura. 6)
Hadits-hadits sembahyang ghaib. 7) Hadits-hadits sembahyang malam dari bulan Rajab. 8)
Hadits-hadits sembahyang malam ke-27 dari bulan Rajab. 9) Hadits-hadits sembahyang malam nifsu
sya'ban 100 raka'at dalam tiap-tiap raka'at 10 kali bacaan surat al-Ikhlas. 10)
Hadits-hadits yang menerangkan hal nabi Khidir dan hidupnya. 11) Hadits-hadits sembahyang hari
Ahad, malam Ahad, Senin, malam Senin, Selasa, malam Selasa, Rabu, malam
Rabu, Kamis, malam Kamis, Jum'at, malam Jum'at, Sabtu, dan malam Sabtu. 12) Hadits-hadits yang
menerangkan hal-hal yang akan terjadi dengan sebutan "apabila pada tahun sekian
maka akan terjadi ini dan itu", atau yang berbunyi "Dalam bulan...akan...". 13) Hadits-hadits yang
menerangkan fadhilah-fadhilah surat al-Qur'an dan ganjaran orang yang
membacanya dari surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Qur'an yang berbunyi "Barangsiapa membaca
surat ini ...akan mendapat ganjaran...". 14) Hadits-hadits yang berisi bacaan-bacaan bagi anggota
wudhu'. 15) Hadits-hadits yang menerangkan naasnya hari-hari. 16) Hadits-hadits
yang didalamnya terdapat pujian-pujian kepada orang-orang yang bagus mukanya atau
yang ada perintah melihat mereka atau yang ada perintah mencari hajat kita dari mereka atau yang
menyebut bahwa mereka tidak disentuh neraka. 17) Hadits-hadits yang berhubungan dengan kejadian
akal manusia. 18) Hadits-hadits yang berisi celaan terhadap bangsa Habsyi, Sudan, dan Turki. 19)
Hadits-hadits yang berkenaan dengan burung merpati seperti riwayat: Adalah Nabi Muhammad saw sangat suka melihat burung merpati
atau riwayat: Peliharalah burung merpati
yang sudah dipotong bulunya ini dalam rumah kamu, karena sesungguhnya ia
bisa melalaikan jin daripada (mengganggu) anak-anak kamu dan sebagainya. 20)
Hadits-hadits yang berhubungan dengan ayam seperti hadits yang berbunyi: Ayam itu, kambing bagi orang-orang miskin dari ummatku.
Dan seumpamanya. 21) Hadits-hadits yang mengandung celaan terhadap anak-anak, salah satu di antaranya
berbunyi: Kalau
salah seorang dari kamu mendidik seekor anak anjing sesudah tahun 160, itu adalah lebih baik
daripada ia mengasuh seorang anak laki-laki. 22) Hadits-hadits yang bersifat pujian terhadap Imam
Abu Hanifah dan Imam Syafi'i dan hadits-hadits yang mengandung celaan
terhadap kedua imam tersebut. 23) Hadits-hadits pujian terhadap orang bujangan (tidak kawin). 24)
Hadits-hadits yang ada pujian bagi 'adas, beras, kacang kuda, terung, delima, kismis, bawang,
semangka, keju, bubur, daging, dan lain-lain. 25) Hadits-hadits yang menyebut keutamaan bunga-bungaan. 26)
Hadits-hadits yang melarang dan membolehkan main catur. 27) Hadits-hadits yang melarang makan di
dalam pasar. 28) Hadits-hadits yang mengandung keutamaan bulan Rajab dan puasa padanya. 29)
Hadits-hadits yang mencela sahabat-sahabat nabi: Mu'awiyah, 'Amr bin 'ash, Bani Umayyah, dan Abi
Musa. 30) Hadits-hadits yang berisi pujian dan celaan terhadap negeri-negeri Baghdad, Bashrah,
Kufah, Asqalam, Iskandariyah, dan lain sebagainya. 31)
Hadits-hadits tentang keutamaan Mu'awiyah. 32) Hadits-hadits yang berisi keutamaan-keutamaan bagi
'Ali bin Abi Thalib. 33) Himpunan hadits-hadits lemah dan palsu oleh A.Yarid.Qasim Koko.
12. Ceramah-ceramah
agama di tengah-tengah masyarakat Islam sampai sekarang ini masih sering menyajikan hadits-hadits palsu. Pada peringatan mauludan masih sering kali terdengar: "Barangsiapa
menafkahkan satu tali untuk mauludku aku akan menolongnya di Yaumil Qiyamah". Pada peringatan Isra' dan Mi'raj masih sering
pula disajikan dongeng-dongengan yang menceritakan tentang gambaran kendaraan Rasulullah, buraq, digambarkan sebagai berwajah
wanita, berbadan seperti kuda, sayapnya pada paha, dan lain sebagainya. Siratol Mustaqim yang terdapat dalam surat al-Fatihah
dilukiskan sebagai jembatan yang sangat kecil seperti rambut dibelah tujuh, lebih tajam dari pedang yang paling tajam, dan
seterusnya. Selain itu populer pula di kalangan ummat Islam, pepatah-pepatah dari orang-orang-tertentu atau kata-kata hikmah
dalam bahasa Arab, yang dinilai dan populer sebagai sabda Nabi saw. Mungkin karena isinya cukup baik maka masyarakat Islam
menilainya sebagai sabda Rasulullah itu. Contoh antara lain: "Cinta tanah air itu adalah sebagian daripada iman". "Islam
tidak akan ada tanpa adanya organisasi. Organisasi tidak akan ada tanpa adanya pemimpin. Pemimpin tidak akan ada tanpa adanya
kepatuhan". "Agama itu akal pikiran. Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal pikiran". "Engkau lihat kotoran nyamuk
pada muka orang lain, dan engkau tidak melihat kotoran unta pada mukamu sendiri". "Terkadang kefakiran itu mendorong kepada
kekufuran".
13. Kitab-kitab yang
meriwayatkan hadits-hadits palsu. Di antara
kitab-kitab yang banyak menggunakan hadits-hadits maudhu' ini ialah kitab-kitab seperti Tafsir Baidhawi, Tafsir Kilbi, dan
lain sebagainya. Kitab-kitab tasawwuf dan kitab-kitab akhlaq dan juga banyak terlibat dalam penyajian-penyajian hadits palsu.
Di Indonesia masih banyak pesantren-pesantren dan buku-buku yang terlibat dalam penyebaran hadits-hadits palsu. Dan sampai
saat ini ummat Islam belum mempunyai suatu lembaga khusus yang bertugas mengoreksi buku-buku yang menyajikan hadits-hadits
yang maudhu' (palsu) dalam skala nasional. Yang sudah ada adalah lembaga Pentashih al-Qur'an di bawah Departemen Agama Republik
Indonesia.
|